ARTIKEL: Berkat Upia Karanji, Pria Ini Terobati Kerinduannya akan Gorontalo

Catatan dari Padang, Sumatera Barat.

Berkat Upia Karanji, Pria Ini Terobati Kerinduannya akan Gorontalo

Oleh : Ismail Giu

Windra Purnama (tengah) saat foto bersama dengan Kepala Biro Humas dan Protokol Rifli Katili (kiri), Kamis (9/2).

Tampil dengan ciri khas daerah sendiri ketika berada di kampung orang akan selalu bernilai positif. Setidaknya pengalaman itu yang terjadi kepada saya dan Kepala Biro Humas dan Protokol Rifli Katili ketika berada di Kota Padang, Sumatera Barat, Jumat (9/2).

Saya dan Pak Karo Humas berada di Padang untuk menghadiri puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2018 yang digelar di bibir pantai di Kota Padang. Dengan menggunakan upia karanji (songkok khas Gorontalo) di kepala dan kemeja karawo (kain sulaman khas Gorontalo) kami membaur di antara ribuan tamu undangan lain. Identitas daerah semakin kental karena di upia karanji ada tulisan “Provinsi Gorontalo” di kedua sisinya.

Singkat cerita, penampilan khas itu rupanya menarik minat Windra Purnama, pria 30 Tahun. Ia mencoba mendekati kami berdua sambil memperkenalkan diri. Rupanya ia asli Gorontalo yang lahir di Limboto 17 Oktober 1988. Ibunya juga Gorontalo bernama Meylina Sidik dan bapaknya Effy Nofrizal Chaniago warga Sumatera Barat.

“Maaf pak, saya lihat bapak dari Gorontalo. Saya juga Gorontalo pak. Ibu saya asli Gorontalo,” ujarnya Windra sambil bersalaman dengan kami.

Awalnya Windra hanya meminta untuk foto bersama. Ia mengaku bangga bisa bertemu dengan kami, sesama warga Gorontalo. Pertemuan itu pun membuat Windra mulai berkisah soal asal usulnya.

“Bapak saya ke Gorontalo karena diajak pamannya, namanya Letkol Yuminis. Sebab waktu itu ia menjabat Kapolres di sana. Bapak akhirnya ketemu ibu dan menikah di Gorontalo,” Kisahnya dengan penuh antusias.

Windra yang berprofesi sebagai kasubag Protokol Pemda Agam itu masih ingat betul, bagaimana ibunya pernah bercerita bahwa kakeknya  adalah seorang guru di SMP 1 Limboto. Sekolah tempat Gubernur Gorontalo Rusli Habibie pernah menimba ilmu. Bahkan, Ibunya juga teman sekolah Rusli Habibie di SMA 1 Limboto.

“Setiap kali lihat pak Rusli di televisi ibu selalu cerita bahwa beliau murid dari almarhum kakek saya. Kakek saya namanya Muhammad Sidik, pernah juga kepala sekolah di SMP 3 Yosonegoro saat tu,” lanjut Windra yang berprofesi sebagai Kasubag Protokol Pemda Kabupaten Agam.

Mereka mengaku rindu kembali ke Gorontalo setelah 27 tahun tak kembali. Kerinduan itu tidak bisa mereka wujudkan, sebab kakek dan neneknya sudah tiada. Pun begitu dengan saudara kandung ibunya yang sudah menetap di Purwakarta, Jawa Barat.

Jadilah perbincangan siang itu sebagai ajang temu kangen sesama warga Gorontalo di Sumatera Barat. Untuk mengobati kerinduan Windra, saya menyodorkan upia karanji yang saya kenakan. Ada rasa berat, sebab upia karanji itu bernilai lebih bagi saya.

Bukan karena harganya yang di atas rata rata dari songkok sejenis, tapi karena songkok dari anyaman pohon Minthu itu diberi langsung oleh Gubernur Gorontalo Rusli Habibie. Beruntung bagi Windra, ukuran songkok itu pas di kepalanya.

“Saya harus jujur, songkok ini pemberiaan pak gubernur ke saya. Tapi karena anda orang Gorontalo di rantau maka saya serahkan songkok ini untuk mengobati kerinduan kampung halaman. Semoga bisa digunakan dan bermanfaat,” kata saya.

Windra Purnama terlihat bahagia menerima cinderamata upia karanji, songkok khas Gorontalo. Ia berfoto sambil memamerkan tulisan ‘Gorontalo’ di salah satu sisi songkok.

Perasaan bahagia terlihat di wajah Windra. Berulang kali ia memegang dan membolak balik upia karanji itu. Ia mengaku bangga menyebut diri warga asli Gorontalo. Alasannya cukup logis, sebab bagi warga Minangkabau umumnya menganut paham matrilinial. Paham suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu.

“Jadi dari SD sampai sekarang kalau ditanya orang saya selalu bilang anak Gorontalo. Terimakasih pak ini pasti akan saya jaga dan pakai selalu,” katanya sambil memegang peci di kepala.

Waktu shalat Jumat membatasi pertemuan kami siang itu. Kami harus segera beranjak dari tempat untuk mencari masjid. Sebelum berpisah, kami saling bertukar nomor kontak untuk tetap menjaga silaturahmi.

Melalui pesan Whatsapp ia mengaku berniat mengongkosi ibunya untuk datang ke Gorontalo. Niat yang sudah lama ia pendam. Windra menjadi tulang punggung di keluarganya. Ia harus membantu menyekolahkan dua saudaranya yang lain, sebab profesi ayahnya sebagai supir truk tidaklah mencukupi.##

 

Bagikan Berita

Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp

ARSIP BERITA

KATEGORI