Umur berapa orang tua kita mulai mengajarkan kita untuk menyikat gigi? Umur berapakah kita mulai diajari untuk mandi bersih dengan menggunakan sabun dan sampo? Umur berapakah kita mulai diajari untuk makan makanan dengan tangan yang bersih, makanan yang bergizi dan minuman yang steril? Semua orang pasti akan menjawab sejak kecil kita diajari hal hal tersebut atau yang berkaitan dengan upaya menjaga kesehatan jasmani kita.
Namun yang perlu juga kita tanyakan sekali lagi kepada diri kita semua ialah sejak kapan orang tua kita mulai mengajari atau melatih untuk memulihkan harga diri kita ketika kita dijatuhkan oleh orang lain? Kapan pertama kali orang tua kita memberikan ruang kepada kita untuk mengenali dan mengelola emosi negatif kita? Mungkin kebanyakan orang akan berkata tidak pernah!
Guy Winch pernah berkata dalam sebuah seminar bahwa saat ini kita hidup di dunia yang sangat pilih kasih, dimana banyak orang yang jauh lebih memusatkan perhatiannya kepada aspek fisik daripada aspek mentalnya. Kita fokus untuk menjaga kebugaran tubuh kita dengan rajin berolahraga, mengikuti senam dan workout tertentu. Kita fokus menjaga performa penampilan kita, dengan merawat rambut, kuku, dan tubuh kita dengan segala fasilitas kecantikan yang ditawarkan. Kita rela menghabiskan uang begitu banyak untuk itu semua.
Tidak ada yang salah dengan itu, dan tulisan ini tidak bermaksud untuk mengkritisi cara kita menikmati hidup dan cara kita menjaga tubuh kita. Karena memang tubuh perlu untuk dijaga kebersihan dan kebugarannya. Kita sepakat dengan itu.
Namun tulisan ini hendak mengingatkan juga kita semua, pentingnya untuk menjaga kesehatan mental kita.
Jika kita selalu mengecek kesehatan gigi kita minimal 6 bulan sekali, bagaimana dengan mengecek kesehatan mental kita? Apakah kita pun mengeceknya setiap 6 bulan sekali? Atau malah tidak pernah sama sekali?
Pesatnya perkembangan dunia dan teknologi, membuat banyak jiwa- jiwa yang menjadi rentan dengan permasalahan psikologis.
Diantaranya ialah tingginya angka bunuh diri di negara-negara maju. Bahkan tren ini pun meningkat di negara-negara berkembang. Mereka memilih bunuh diri untuk “menyelesaikan” masalah masalah yang mereka alami. Seolah ingin menjelaskan kita juga bahwa mereka kurang memiliki coping stress (cara menyelesaikan stress) yang baik.
Dalam beraktivitas sehari-hari, kita lebih banyak mengalami luka psikologis daripada luka fisik. Luka seperti rasa gagal, rasa penolakan, atau bahkan rasa kesepian karena kehilangan. Dan luka itu makin parah seiring kita mengabaikannya. Bahkan luka tersebut berdampak pada hidup dan kehidupan kita secara signifikan.
Mari kita lihat mereka yang seringkali mengalami bully di sekolah atau di kantor baik yang secara langsung maupun melalui cyber (medsos, internet dan sebagainya). Mereka cenderung mengalami gangguan depresi, cemas, sulit untuk tidur nyenyak, bahkan muncul keinginan untuk bunuh diri. Parahnya lagi, orang tua atau orang-orang terdekat justu berkata “ oh kamu diejekin teman di sekolah ya?, sudah lupakan saja, tidak usah hiraukan” dan sebagainya. Padahal masalah psikologis tidak sesederhana kita memaknainya.
Masih banyak lagi permasalahan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari pesatnya perkembangan zaman. Namun kita masih saja menggunakan cara-cara lama dalam mengasuh dan melatih anak anak kita. Kita tidak pernah menyiapkan mereka secara psikologis untuk menghadapi pesatnya perkembangan zaman.
Sejak tahun 2003, WHO mengajak International Association of Suicide Prevention (IASP) untuk memperingati hari pencegahan bunuh diri sedunia di setiap tanggal 10 September. Kita pun di Indonesia perlu untuk memperingati hari tersebut, sebab jika ditilik dari data bunuh diri di seluruh dunia untuk tahun
2016 (Lee, Roser, & Oritz-Ospina, 2016) usia 15-49 tahun adalah angka tertinggi bunuh diri yakni sebanyak 567.161 jiwa. Bahkan menurut penelitian mereka, Internet adalah sumber utama yang kuat dalam upaya mencari cara untuk melakukan bunuh diri.
Mereka pun menunjukkan data dari google search engine yang bertuliskan “how to suicide”, “suicide help”, dan “how to
overdose” yang makin meningkat sejak Januari 2004 hingga Juni 2016. Walaupun individu yang mencari kata-kata tersebut di search engine merepresentasikan populasi dunia secara keseluruhan.
Sementara Indonesia berdasarkan world population review.com di tahun 2019 berada di peringkat158 dengan total rata-rata bunuh diri sebanyak 3,4 per 100 ribu penduduk.
Sementara beberapa kasus percobaan bunuh diri di Gorontalo sepanjang tahun 2019 ini yang diberitakan oleh media sebanyak 4 kali, yang terjadi pada salah satu warga Tuladenggi (30/5/2019), warga Hunggaluwa (31/05/2019), Luhu (14/07/2019), satu Warga Buhu Kec. Tibawa (03/06/2019).
Kejadian kejadian seperti ini tentu membuat kita harus lebih waspada dan peka. Kita perlu mengembangkan rasa peduli kepada mereka yang memiliki beban psikologis yang berat dan menunjukkan perilaku yang tidak biasa.
Seperti mereka yang suasana moodnya menurun, kehilangan minat melakukan sesuatu secara signifikan, kehilangan harapan hidup, pernah mengupayakan bunuh diri, kita perlu belajar tentang cara menangni dan memberikan support kepada mereka. Dan upaya yang lebih penting lagi ialah, kita sebagai orang tua perlu kembali meningkatkan pengetahuan kita untuk menjadikan anak-anak kita mampu mengenali emosi dan mengelola emosi mereka sejak dini.
Sehingga mereka bisa memiliki regulasi diri dan coping stress yang baik dalam menghadapi perkembangan dunia yang serba cepat ini. Dan lebih utama lagi adalah selalu berkonsultasi dengan psikiater, psikolog atau tenaga ahli lainnya dalam mencari upaya untuk menyelesaikan permasalahan psikologis kita.
Nama : Temmy Andreas Habibie
Pekerjaan : Analis Kepegawaian BKD Prov. Gorontalo, Tenaga Psikologi Puspaga Gemilang Kab. Gorontalo, Sekretaris II Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah Gorontalo