
Kota Gorontalo, Kominfotik – Pemerintah Provinsi bersama Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Gorontalo menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang peningkatan kualitas pelayanan bagi penyandang disabilitas serta perlindungan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian. Kegiatan ini berlangsung di Aula Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo, Kamis (13/11/2025).
Kepala Pengadilan Tinggi Agama Gorontalo Nia Nurhamidah Romli menilai kedua isu ini sangat krusial untuk memastikan peradilan yang adil dan inklusif di Gorontalo. Hampir seluruh pengadilan telah menyediakan sarana bagi penyandang disabilitas, meski masih terbatas karena kendala anggaran. Namun, sisi penting yang belum tergarap adalah kemampuan petugas dalam bahasa isyarat dan huruf braille.
“Kami memohon dan berharap besar, setelah MoU di tingkat Provinsi ini, Bapak Gubernur berkenan meminta dan mendorong secara tegas kepada para bupati dan walikota beserta OPD untuk segera melakukan penandatanganan serupa dengan pengadilan agama di wilayah masing-masing. Hal ini sangat penting demi pemerataan kualitas pelayanan hukum dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian di seluruh wilayah Gorontalo,” ungkap Nia.
Isu kedua yang disoroti adalah pemenuhan hak anak dan perempuan pasca perceraian, terutama terkait nafkah dan pemeliharaan anak. Kepala PTA menyebut isu ini merupakan persoalan global yang dilaksanakan berdasarkan prinsip the best interest of the child.
Berbagai peraturan di Indonesia sudah menjamin hak anak, di antaranya Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014. Namun, pelaksanaannya di lapangan belum maksimal karena belum ada undang-undang khusus yang mengatur secara rinci.
“Hampir semua hakim secara ex officio menetapkan besaran nafkah anak namun sulit mengeksekusinya, bahkan bila suatu putusan dilakukan upaya hukum sampai kasasi, pelaksanaan putusan pun harus menunggu putusan itu berkekuatan hukum tetap (BHT) sedangkan anak tidak mungkin disuruh puasa menunggu putusan itu. Kedepan saya berharap Mahkamah Agung pun dapat membuat kebijakan hukum untuk nafkah anak sebagai putusan Uitvoerbaar Bij Voorraad,” jelas Nia.

Sementara khusus ASN, memang diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990. Akan tetapi, implementasinya di lapangan masih sulit dilakukan karena berbagai kendala administratif dan sosial.
Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail dalam sambutannya menegaskan perlakuan hukum harus sama antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas. Pemerintah memiliki kewajiban menjamin hak yang setara bagi seluruh masyarakat dalam proses peradilan.
“Untuk isu disabilitas, saya kira sudah cukup jelas bagi kita semua, bagaimana kita melindungi individu dengan keterbatasan agar tetap mendapatkan perlakuan hukum yang adil dan akses terhadap keadilan,” kata Gusnar.
Ia menyoroti kompleksitas persoalan perlindungan perempuan dan anak, khususnya bagi ASN yang menjadi pihak dalam perceraian. Menurutnya, permasalahan pembagian nafkah dan aset sering menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan dan anak.
Selebihnya, Gusnar mengatakan pemerintah akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan instansi terkait untuk mencari mekanisme hukum yang adil dan efektif. Pembagian pendapatan maupun aset pasca perceraian perlu diatur agar tidak merugikan pihak yang lebih lemah secara ekonomi. Harapannya, MoU ini menjadi langkah awal bagi Gorontalo menuju sistem peradilan yang inklusif, adil, dan berkeadaban.
“Pemerintah Provinsi Gorontalo akan terus berkomitmen melindungi setiap warga negara, terutama perempuan dan anak, dalam aspek hukum yang berkaitan dengan perceraian,” kata Gusnar.
Pewarta : Mila