6 TKI Korban Kekerasan di Korsel Tiba di Gorontalo

6 dari 14 TKI asal Kabupaten Pohuwato yang mengalami kekerasan selama bekerja di Korea Selatan diterima Gubernur Gorontalo Rusli Habibie di Rumah Jabatan, Rabu (17/10/2018). (Foto: Salman-Humas).

KOTA GORONTALO, Humas – Kedatangan 6 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengalami kekerasan selama bekerja di Korea Selatan disambut oleh Gubernur Gorontalo Rusli Habibie di rumah jabatan, Rabu (17/10/2018). Mereka dijamu makan siang sekaligus mendengarkan langsung perihal duka mereka selama dua bulan bekerja sebagai TKI.

Gubernur memanggil dan menghadirkan Kepala Sekolah SMK Popayato, Dede Wangsa sebagai pihak yang menjalin kerjasama dengan agen penyalur TKI PT Jeafa Maritim Internasional. Hadir pula para pejabat di lingkungan Dikbudpora Provinsi Gorontalo serta Kepala Dinas Penanaman Modal, ESDM dan Transmigrasi Husin Hasni.

“Tujuan kepala sekolah bagus untuk memperjuangkan anak-anaknya bekerja ke luar negeri, tapi mungkin ada proses yang ketenagakerjaan yang tidak dilakukan dengan baik. Ini menyebabkan para TKI ini bermasalah,” terang Rusli kepada para wartawan.

Hal terpenting bagi Rusli, 14 TKI asal kabupaten Pohuwato itu bisa kembali selamat di Gorontalo. Terkait dengan kekerasan selama bekerja termasuk gaji dua bulan yang tidak mereka terima, Pemprov Gorontalo siap membantu untuk penuntutan secara hukum.

“Apabila mereka menuntut, saya sudah sampaikan ke pengacara pak Dahlan Pido untuk bisa membantu melakukan advokasi dan pendampingan hukum,” imbuhnya.

Sementara itu, Kadis Penanaman Modal, ESDM dan Transmigrasi Husin Hasni menjelaskan pengiriman 14 TKI ke Korea Selatan ini tanpa sepengetahuan pemerintah provinsi. Harusnya agen penyalur harus memiliki kantor cabang di daerah, melaporkan secara rutin kepada pemerintah serta mengantongi rekomendasi dari Dirjen TenagaKerja Kementrian Tenagakerja dan Transmigrasi.

“Ini harus menjadi pembelajaran buat kita semua. Harusnya prosedurnya seperti itu,” jelas Husin.

Kepala Sekolah SMK Popayato, Dede Wangsa mengaku sangat terkejut dengan peristiwa tersebut. Maksud hati ingin membantu perekonomian warga yang berprofesi sebagai nelayan untuk menjadi TKI, justru berakhir tragis.

12 TKI tersebut diketahui merupakan alumni sekolahnya, sementara 2 TKI lainnya warga di kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato.

“Saya meminta maaf atas peristiwa ini. Tidak terpikirkan oleh kami seperti ini, niatan kami untuk membangun masyarakat Torosiaje yang notabene anak nelayan untuk hidup lebih layak lagi. Kami pun pihak sekolah, sama seperti anak anak yang merasa dirugikan,” ujar Dede dengan terbata-bata.

Isak Lahasan, salah satu TKI yang menjadi korban kekerasan tenagakerja menuturkan, selama bekerja di kapal ikan mereka kerap mendapatkan perlakukan kasar dari warga Tiongkok. Sejak bekerja di kapal tanggal 26 Agustus lalu, mereka tidak pernah diberi upah. Mereka juga dipaksa bekerja non stop, tidak seperti yang tercantum dalam kontrak yakni 8 jam sehari.

“Padahal kami sudah sampaikan ke agen Korea kami muslim tidak bisa makan babi. Tapi tiap hari tetap itu juga. Kami bertahan hidup dengan nasi dan air. Kami dikasih minum air dari keran kamar mandi,” kisah Isak.

Pada 12 Oktober 2018, para TKI lantas memilih untuk melakukan perlawanan. Bersama 24 tenaga kerja lain dari pulau Jawa dan Sulawesi Utara, memaksa pihak kapal untuk mengantarkan mereka ke pelabuhan.

Selanjut pihak KBRI memfasilitasi pengembalian ke tanah air melalui bandara Busan, Korea Selatan. Selama di Jakarta mereka di tampung di asrama Mahasiswa Gorontalo di Jl. Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Pihak Badan Penghubung Pemprov Gorontalo memberikan pendampingan selama di ibu kota.

Rencananya 8 orang TKI yang masih ada di Jakarta akan dipulangkan Kamis besok. Proses pemulangan dengan menggunakan pesawat dibantu oleh Bupati Pohuwato Syarief Mbuinga dan para dermawan lainnya.

Pewarta: Isam

Bagikan Berita

Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp

ARSIP BERITA

KATEGORI