Gorontalo – Penjabat Gubernur Gorontalo Zudan Arif Fakrulloh, menjelaskan bahwa, terkait dengan penyusunan Peraturan Dareah (Perda) harus benar-benar berdasakan tingkat kebutuhan dimasyarakat.
Hal ini menjadi penting karena pemerintah tidak boleh mengatur daerah sendiri, dengan mengunakan ukuran perda dari daerah lain, sebab undang undang Pemerintah Daerah, dibentuk dengan peraturan nasional, dan peraturan konteksionalnya diselesaikan melalui peraturan daerah masing masing.
“Sehingga perlu dipahamai bersama dalam penyusunan Perda, harus memahami betul, kebutuhan daerah kita, baik dari keunikan daerah, serta memahami masalahnya, prinsip utama mengatur adalah membentuk perda untuk menyelesaikan masalah dan menjawab kebutuhan di masa yang akan datang,” kata Zudan Arif, saat menghadiri rapat paripurna DPRD Provinsi Gorontalo, dalam rangka pembicaraan tingkat I, terhadap dua
Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda).Zudan mengungkapkan, pengalamanya selama enam tahun di Biro Hukum Kementrian Dalam Negeri, saat mengevaluasi dan melakukan klarifikasi Perda provinsi serta kabupaten/kota, pernah menemukan empat perda dari empat daerah yang isinya sama persis.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri, sehingga itu dalam membentuk perda mari bersama disusun seseuai kebutuhan daerah.
“Baik perda tentang Karawo dan tentang pemberdayaan UMKM, yang akan kita susun bersama, bisa cepat selesai diwaktu yang tidak terlalu lama,”kata Zudan Arif.
Menurutnya bahwa, setiap perda diharapkan harus bisa menyelesaikan masalah, oleh karena itu semua masalah yang melingkupi pelestarian dan pengelolaan kain sulaman Karawo harus dipetakan dengan tepat, demikian pula dengan perda persoalan UMKM.
Selain itu setiap pembentukan perda tidak boleh berpotensi fiktimokenik dan berpotensi kriminogenik, yang artinya perda yang dihasilkan tidak boleh menimbulkan kejahatan dan tidak boleh menimbulkan korban.
“Kita tau bersama bahwa tujuan pembuatan perda adalah tujuan dan niatnya baik, namun jangan sampai menimbulkan korban,”jelasnya.
Dirinya pernah membatalkan Perda tentang pemberantasan maksiat, karena perda tersebut berpotensi menimbulkan korban, padalah perda tersebut
dilandasi dengan niat yang baik.
“Dimana ada pasal yang melarang setiap perempuan keluar rumah pada pukul 10.00 malam sampai pukul 04.00 pagi,”ujarnya.
Ia menceritakan dimana pada waktu diskusi dengan para anggota dewan, dirinya sempat bertanya, mengapa kaum perempuan tidak boleh keluar
rumah pada malam hari.
Dalam perda itu, terdapat Bab perlindungan dari pemerkosaan dan perlecehan seksual, ini niatannya baik ingin melindungi kaum perempuan tapi
dirinya bertanya lagi, yang melecehkan dan memperkosa kaum perempuan itu siapa, mereka menjawab yaitu kaum laki-laki.
“Kemudian saya bertanya lagi bolehkah yang memperkosa dan yang melecehkan yang dikurung di dalam rumah, jadi kaum laki-lakinya yang dilarang keluar rumah diwaktu malam hari, sehingga perempuan dengan leluasa bisa keluar rumah,”ujarnya.
Ibaratnya lebih baik musangnya yang di kandangkan dan ayamnya yang dilepas, daripada ayam yang kita kurung tapi musangnya menunggu didepan kandang. Inilah yang disebut dengan Perda yang diskriminatif.
“Niatan kita baik tetapi karena kita mengatur tidak memperhatikan mempertimbangkan aspek-aspek lainya, maka sering kali menimbulkan norma norma yang bersifat diskriminatif,”tuturnya.